UHN I Gusti Bagus Sugriwa dan STAHN Japa laksanakan FGD Moderasi Beragama dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian

UHN I Gusti Bagus Sugriwa dan STAHN Japa laksanakan FGD Moderasi Beragama dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian

Jawa Tengah, Samacarapers – Bertempat di Ruang Rapat Kampus Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Jawa Dwipa, Klaten, Jawa Tengah, pada Kamis (11/9/2025), Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Wacana Moderasi Beragama dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian.”

Kegiatan ini diikuti oleh dosen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa yang terdiri dari perwakilan BEM, DPM, HMJ, dan UKM. Acara dipandu oleh Wiwit Murniati selaku pembawa acara.

Dalam sambutannya, Ketua STAHN Jawa Dwipa menyampaikan bahwa forum diskusi semacam ini perlu dilakukan secara intensif di lingkungan perguruan tinggi, khususnya untuk memperkuat interaksi dan pemikiran kritis antar mahasiswa.

Pada kegiatan FGD ini, Dr. I Made Dian Saputra, S.S., M.Si. selaku Wakil Direktur Pascasarjana UHN, menyampaikan beberapa hal penting. Ia menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari MoU kerja sama antara UHN dan STAHN Jawa Dwipa.

“Forum seperti ini menjadi wadah untuk menindaklanjuti kerja sama, khususnya dalam bidang penelitian. Hasil penelitian tersebut kemudian dibahas dalam FGD, sehingga dapat menjadi motivasi bagi mahasiswa untuk bereksperimen dan mengembangkan gagasan baru,” ujarnya.

Selain itu, Dr. Dian Saputra juga membuka peluang bagi mahasiswa STAHN Jawa Dwipa yang ingin melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana di UHN. “Kami juga memohon izin karena pada kesempatan ini Bapak Rektor belum dapat hadir,” tambahnya.

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan MoU antara Ketua STAHN Jawa Dwipa dengan Wakil Direktur Pascasarjana UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, serta Ketua LP2M, sebagai bentuk penguatan kerja sama akademik.

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Heri Purwanto, S.S., M.Ag. Ia menjelaskan bahwa dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, terdapat pedoman suci dari sejarah Sunda kuno yang terbagi ke dalam beberapa aspek, di antaranya aspek ekonomi dan aspek sosial-budaya yang berkaitan dengan konsep Tri Hita Karana dan Tri Kaya Parisudha.

Dari hasil penelitian dan pembahasan, ditemukan sejumlah unsur yang dapat dijadikan dasar dalam membangun moderasi beragama. Unsur-unsur tersebut meliputi komitmen kebangsaan, yang tercermin dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama — salah satu contoh konkret adalah ketaatan dalam membayar pajak. Selain itu, unsur lainnya adalah toleransi, anti-kekerasan, serta penerimaan terhadap tradisi sebagai bentuk penguatan harmoni dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.

Kegiatan kemudian berlanjut dengan sesi diskusi panel. Beberapa peserta FGD mengajukan pertanyaan, salah satunya dari Lingga Dharmayasa.

Dalam pertanyaannya, Lingga menyoroti isu moderasi beragama yang kerap dibahas di kementerian maupun lembaga. Ia mempertanyakan apakah nilai-nilai moderasi — seperti toleransi, anti-kekerasan, dan penerimaan tradisi — hanya dijalankan di kalangan elit atau pimpinan karena terkait kepentingan tertentu.

Lebih lanjut, Lingga juga meminta penjelasan mengenai situasi yang digambarkan dalam teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Ia menanyakan apakah pada masa kerajaan saat itu berlaku sistem monokultur dengan satu agama tertentu, atau justru terdapat pluralitas agama dan budaya.

“Bagaimana masyarakat pada masa itu menyamakan persepsi hingga memunculkan gaya teologis baru? Apakah dalam teks tersebut dijelaskan mengenai suku, agama, atau aliran kepercayaan yang berkembang pada masanya?” tanyanya.

Selanjutnya, narasumber memberikan penjelasan bahwa teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian memang tidak secara eksplisit menyebutkan sistem keagamaan yang berlaku. Namun, terdapat keterangan bahwa perintah raja harus dipatuhi, yang dapat dimaknai sebagai bentuk pengaturan sosial termasuk dalam konteks toleransi.

“Teks ini tidak menyebutkan adanya agama Sunda, melainkan menunjukkan adanya sistem teologis kepercayaan lokal. Pada masa itu kemudian muncul agama-agama baru seperti Hindu-Buddha, serta pengaruh dari orang-orang Tiongkok dan Arab yang datang ke Kerajaan Sunda,” jelas narasumber.

Pertanyaan berikutnya disampaikan oleh Dewa, yang menyoroti konteks pendidikan. Ia menanyakan relevansi moderasi beragama dalam kerangka pendidikan formal, mengingat istilah moderasi sendiri baru populer di Kementerian Agama sekitar tahun 2019.

Menjawab hal tersebut, narasumber menerangkan bahwa dalam naskah kuno terdapat dua bentuk pendidikan, yakni pendidikan formal dan nonformal. “Pada masa lalu sudah terdapat pusat-pusat pendidikan. Pendidikan nonformal bisa berlangsung mulai dari anak-anak hingga guru yang memberi pengajaran secara langsung,” ungkapnya.

Diskusi diakhiri dengan opini dari Lingga Dharmayasa. Ia menyampaikan bahwa jika berbicara tentang moderasi beragama, konflik seringkali muncul karena faktor agama. Namun, di sisi lain ada juga praktik moderasi yang dilakukan oleh pemeluk agama itu sendiri. “Kesimpulan sementara saya, moderasi beragama memiliki tiga poin utama yaitu aspek ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Toleransi, anti-kekerasan, serta penerimaan tradisi hanya dapat terwujud apabila ketiga aspek tersebut berjalan beriringan,” tegasnya.

Sebagai closing statement, Dr. I Made Dian Saputra, S.S., M.Si. kembali menekankan pentingnya memahami moderasi beragama dengan tepat. “Program moderasi beragama memiliki banyak tafsir dan seringkali dianggap menyalahkan agama. Padahal, permasalahan yang muncul di masyarakat sebenarnya masih sangat kompleks. Moderasi beragama dimaknai sebagai posisi di tengah, untuk menemukan titik temu agar tidak terlalu ekstrem dan dapat mencapai stabilitas sosial. Kajian terhadap Sanghyang Siksa Kandang Karesian relevan hingga kini karena naskah ini dijadikan pedoman hidup masyarakat Sunda, terutama dalam menjaga konsistensi ajaran kearifan lokal,” tutupnya.

Penulis: Reffy Frizta Dianti

Penyunting: Ratih Hesti Lestari

Dokumentasi: Ratih Hesti Lestari

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *