Kamis, 5 Desember 2024, bertempat di Caffe dan Resto Simbar Joyo, telah berlangsung sebuah seminar kebhinekaan dengan tema “Keberagaman sebagai Kekuatan Bangsa.” Seminar ini dipimpin oleh Heri Purwanto, S.S., M.Ag, sebagai moderator, dengan panelis yang terdiri dari KH Syamsuddin Asyrofi, Nur Raifai, dan Putu Pradnya Lingga Dharmayasa, S.Fil., M.Phil. Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Acarya Media, dan dihadiri oleh sejumlah pelajar dari berbagai sekolah, BEM Universitas Klaten, serta pemuda lintas agama. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperkuat pemahaman tentang kebhinekaan, mempromosikan sikap toleran dan moderat, serta menumbuhkan partisipasi aktif pemuda dalam merawat keberagaman bangsa.
–
Narasumber pertama yaitu KH Syamsuddin Asyrofi Menyampaikan tentang ” Nilai-nilai Universal Agama Dalam Memperkuat Semangat Toleransi Kebhinekaan”. Beliau menyampaikan Mayoritas masyarakat Indonesia masih dalam kategori masyarakat Agraris, yang sikap dan perilaku kehidupannya cenderung Paternalistik artinya ada kecenderungan mengikuti para tokoh agama, tokoh masyarakat, pemimpin sebagai panutan. Oleh karena itu keteladanan para pemimpin formal dan informal termasuk toga dan tomas yang berpikir demokratis, bersikap toleran, beragama yang moderat bersikap adil dan demokratis di seluruh tingkatan menjadi sangat penting bagi masyarakat dan umat beragama. Tentu saja juga harus disertai peraturan perundangan yang baik dan benar serta berorientasi pada kesejahteraan hidup rakyat banyak dalam bingkai nilai-nilai agama, budaya, nilai-nilai dasar Pancasila, kebhinekaan, NKRI dan undang-undang dasar 1945 (PBNU) menuju Indonesia emas tahun 2045.
–
Selanjutnya, pemateri kedua, Nur Raifai melanjutkan dengan menyampaikan materi mengenai “Generasi Muda dan Tantangan bagi Indonesia”. Beliau menjelaskan bahwa Generasi muda merupakan harapan bangsa. Pemuda memiliki peran vital dalam merawat kebhinekaan Indonesia. Kebhinekaan atau keberagaman adalah salah satu kekayaan terbesar yang dimiliki Indonesia. Keberagaman di Indonesia meliputi persatuan, sumber daya manusia, pertumbuhan ekonomi, identitas Bangsa, dan toleransi. Kemudian terdapat beberapa tantangan yang dihadapi generasi muda seperti kurangnya pengetahuan, pengaruh globalisasi, membangun jaringan, dan kreativitas dan inovasi. Pentingnya peran pemerintah dan masyarakat yaitu mendukung kebijakan keberagaman, peran dalam mempertahankan keberagaman, dan mencintai lingkungan yang inklusif. Beliau menyampaikan bahwa terdapat solusi yang dapat dilakukan yaitu berkolaborasi dengan berbagai pihak, meningkatkan pengetahuan, menjelas teladan, mempromosikan toleransi dan penggunaan media sosial dengan bijak.
–
Selanjutnya, pemateri ketiga Pradnya Lingga Dharmayasa, S.Fil.,M.Phil menyampaikan materi mengenai ” Memaknai Ulang Bhineka tunggal Ika”. Beliau menyampaikan keberagaman itu adalah sebuah realitas yang tidak bisa dihindarkan. Namun keberagaman itu bisa menjadi lebih baik, apabila dilakukan secara rasionalitas melalui sebuah terminologi “persatuan”. Keragaman itu coba untuk dimaknai ulang, pertama pendekatan klasik keragaman selalu dipandang terkait hubungann manusia dengan manusia. Sedangkan manusia dengan alam disebut pendekatan keberagaman modern, hal ini merujuk pada prilaku konsumtif manusia yang masif memproduksi sampah yang semakin tinggi dan ancaman lingkungan global, seoal manusia belum sampai pada pola toleransi terhadap non-manusia. Yang ketiga pendekatan Human-Techno, asumsinya bahwa manusia dalam dunia teknologi akankah melayani lebih banyak kepentingan pribadi atau kelompok? dan apa rencana masa depan yang disiapkan?
–
Setelah penjelasan dari narasumber, sesi tanya jawab dibuka. Beberapa pertanyaan disampaikan oleh pelajar, BEM Universitas, dan pemuda lintas agama. Salah satunya datang dari pemuda lintas agama, yaitu Muhammadiyah asal Kabupaten Klaten, yang bertanya, “Setelah saya memahami mengenai kerukunan, apakah kita, Negara Indonesia saat ini, sudah rukun?”
–
Pertanyaan ini dijawab oleh Putu Pradnya Lingga Dharmayasa yang menjelaskan bahwa pada dasarnya, manusia tidak rukun karena lebih mementingkan kebutuhan pribadi (egois). Rasa rukun dapat tumbuh ketika bertemu dengan orang lain yang saling menghargai dalam merumuskan proyeksi tujuan bersama sehingga rasa tanggung jawab bersama menjadi membudaya sejak zaman berburu hingga zaman teknologi informasi ini. Ketidakrukunan terjadi akibat keegoisan manusia yang tidak harmonis dalam menjalani hubungan dengan lingkungan sekitarnya.
–
penulis : Ketut Dewi Kartika
penyunting: Ida Setyawati
gambar: Reffy