DIALOG ANTARAGAMA: Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial”

DIALOG ANTARAGAMA: Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial”

Jawa Dwipa, 09 Juli 2025 – Mahasiswa STAHN Jawa Dwipa melaksanakan Dialog Antaragama dengan tema “Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial.” Acara berlangsung selama 9 jam, dimulai pada pukul 07.30 hingga 16.30 di Aula STAHN Japa Dwipa.

Dialog dibuka oleh MC Reffy Frizta Dianti, mahasiswa semester 6. Acara ini menghadirkan tiga unsur, yaitu kesetaraan gender, kaum rentan, dan perwakilan dari berbagai agama melalui Pemuda Lintas Agama di Klaten. Di antara perwakilan tersebut terdapat pemuda Kristen dari GKJ Ketandan, pemuda Katolik dari Gereja Paroki Santo Ignatius, pemuda IPNU dan IPPNU Klaten, serta pemuda Buddha dari Vihara Buddha Kirti.

Acara ini juga menghadirkan dua keynote speaker yang merupakan dosen STAHN, yaitu Gede Agus Siswadi dan Putu Lingga, serta lima pembicara internal yang terdiri dari mahasiswa STAHN Jawa Dwipa, yaitu Yogiswara, Reffy Rizta, Bayu Adi, Amanda, dan Ika Safitri.

Acara ini resmi dibuka oleh Drs. I Nyoman Warta, M.Hum (Wakil I STAHN Jawa Dwipa). Dalam sambutannya, beliau menyampaikan beberapa hal terkait perbedaan agama yang ada di Indonesia dan mengharapkan agar perbedaan tersebut selalu dirawat dengan cara pandang yang positif. Beliau juga berharap agar kegiatan ini bermanfaat bagi adik-adik, bagi kita semua, dan mengingatkan agar apa yang dilakukan dalam acara ini dapat disebarkan ke masyarakat, terutama hal-hal yang positif.

Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan pembawaan materi yang diawali dengan pengenalan oleh narasumber, yaitu Gede Agus Siswadi, S.Pd., M.Pd., M.Phil. Beliau membawakan materi dengan tema “Membongkar Konstruksi Sosial pada Perempuan dan Upaya untuk Memerdekakan Perempuan.” Dalam penyampaiannya, beliau menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki dimensinya masing-masing, yang terdapat sisi anima dan animus.

Beliau juga menyampaikan tiga konstruksi sosial, yaitu: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah proses di mana individu menciptakan dan memanifestasikan norma atau konsep nilai melalui aktivitas sehari-hari. Objektivasi adalah fenomena di mana sesuatu yang awalnya diciptakan oleh individu mulai dianggap sebagai objek yang terpisah dari penciptanya. Internalisasi adalah tahap di mana individu menginternalisasi (menerima) nilai atau norma ke dalam diri sendiri sehingga menjadi bagian dari cara berpikir seseorang. Beliau juga menekankan bahwa perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki, dan perbedaan yang ada hanya secara biologis. Perempuan juga dapat melakukan semua pekerjaan yang setara dengan laki-laki.

Kemudian, acara dilanjutkan dengan pembicara kedua, Putu Pradnya Lingga Dharmayasa, S.Fil., M.Phil. Beliau membawakan materi dengan tema “Disability or Difabel.” Dalam penyampaiannya, beliau menjelaskan bahwa disabilitas dipengaruhi oleh interaksi individu dengan lingkungan fisik dan sosial, yang memengaruhi tingkat partisipasi sosial. Disabilitas tidak hanya disebabkan oleh kondisi medis (impairment), tetapi juga merupakan konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan. Proses disabilitas dimulai dari penyakit, cacat lahir, atau kecelakaan, dan melibatkan karakteristik pribadi serta lingkungan yang memengaruhi fungsi fisik, mental, atau emosional individu (diagnosis biologis).

Difabel merujuk pada orang-orang dengan kemampuan yang berbeda dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Beliau juga menjelaskan tentang inklusi sosial yang berkaitan dengan partisipasi setiap individu dalam masyarakat dan pengendalian atas sumber daya mereka sendiri, serta menciptakan komunitas yang peduli, menyambut anggotanya, dan bersedia menyesuaikan diri dengan berbagai kebutuhan.

Sebagai contoh, beliau mengutip kartun Spongebob, di mana jika Spongebob naik ke permukaan laut, dia tidak bisa bernapas. Begitu pula dengan Sandy, yang ketika semua peralatan selamnya dilepas, juga tidak bisa bernapas dalam air. Contoh tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kepedulian sesama, meskipun ada perbedaan, namun kita tetap bisa saling memahami satu sama lain.

Selanjutnya, acara masuk pada sesi (1) mengenai keberagaman agama yang dibawakan oleh Yogiswara Kusuma Wardana. Ia membawakan materi dengan tema “Bagaimana Prasangka Anda Terhadap Agama Lain.” Pada sesi ini, para peserta diberikan kesempatan untuk mengutarakan prasangka mereka terhadap agama lain, bahkan mereka juga bisa mengutarakan prasangka terhadap agamanya sendiri. Kemudian, dijelaskan oleh para pemeluk agama masing-masing terkait pertanyaan-pertanyaan dari agama lainnya.

Ia juga menjelaskan mengapa prasangka itu ada. Adanya prasangka disebabkan oleh beberapa faktor, seperti stigma dalam masyarakat, lingkungan pertemanan, kurangnya dialog, dan kurangnya toleransi.

Selanjutnya, acara masuk pada sesi 2 mengenai keberagaman agama yang dibawakan oleh Bayu Adi Suputro. Ia membawakan materi dengan tema “Mengenal Disabilitas dan Problematika.” Ia menjelaskan bahwa disabilitas mencakup beberapa jenis, seperti disabilitas fisik (cacat pada tubuh manusia), disabilitas sensorik (gangguan pada panca indera), disabilitas intelektual (gangguan perkembangan pada kemampuan kecerdasan atau berpikir), dan disabilitas mental/psikososial (ketidakmampuan memahami keadaan dan mengontrol emosi).

Ia juga menjelaskan beberapa hambatan atau “five levels of barriers,” seperti hambatan individu (hambatan mendengar dan berjalan), hambatan dalam lingkungan, dan hambatan sosial. Ia memberikan kesimpulan bahwa disabilitas adalah keberagaman manusia, bukan kelemahan.

Kemudian, terdapat satu pertanyaan dari perwakilan peserta, Gede Arya, yang merupakan perwakilan dari agama Buddha. Pertanyaannya adalah: “Apakah autis termasuk disabilitas mental?”

Amanda, salah satu pembicara pada acara hari ini, menjawab: “Ya, anak autis kurang bisa memahami sesuatu dengan cepat. Proses berpikirnya lebih lama, dan mereka memiliki keterbatasan intelektual, sehingga IQ-nya lebih rendah dibandingkan anak-anak sebaya. Dengan demikian, cara mereka mencerna informasi, berpikir, dan mengolah sesuatu berbeda dari kita.”

Selanjutnya, acara masuk pada sesi 3 yang dibawakan oleh Reffi Frizta Dianti dengan tema “Kesetaraan Gender.” Ia menjelaskan tentang seks dan gender. Seks adalah pembagian jenis kelamin antara perempuan (female) dan laki-laki (male), yang bersifat biologis dan universal. Sementara itu, gender mengacu pada sifat, peran, status, dan tanggung jawab yang bersifat kodrat, permanen, dan tidak dapat diubah. Perilaku laki-laki dan perempuan yang merupakan konstruksi sosial gender disebut juga dengan jenis kelamin sosial.

Dalam sesi ini, para peserta berdiskusi tentang kesetaraan gender, termasuk beberapa hal yang dapat dilakukan oleh laki-laki dan juga oleh perempuan. Perempuan dapat melakukan pekerjaan seperti ke ladang, ke sawah, dan melakukan pekerjaan lainnya.

Diskusi dilakukan dengan membentuk beberapa kelompok. Kelompok 2 menjelaskan tentang ketidaksetaraan atau ketimpangan gender yang pernah dialami dan didengar. Kelompok 4 menjelaskan tentang dampak yang ditimbulkan dari ketidaksetaraan atau ketimpangan gender tersebut. Kelompok 1 menjelaskan tentang kesetaraan gender, sedangkan kelompok 3 menjelaskan tentang penyebab terjadinya ketidaksetaraan atau ketimpangan gender.

Selanjutnya, acara masuk pada sesi 4 yang dibawakan oleh Amanda Putri Sarasvati Devi. Ia membawakan materi dengan tema “Inklusi Sosial.” Ia menjelaskan bahwa inklusi sosial bertujuan untuk memastikan bahwa semua individu dan kelompok, tanpa memandang latar belakang, dapat berpartisipasi secara penuh. Tujuan dari inklusi sosial adalah menghilangkan hambatan-hambatan yang menghalangi individu atau kelompok untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya.

Ia juga membahas tentang prinsip-prinsip inklusi sosial yang meliputi: Equality (kesetaraan), Diversity (keragaman), Inclusion (pendapat), dan Equity (fasilitas/akomodasi).

Selanjutnya, acara masuk pada sesi 5 yang dibawakan oleh Ika Safitri dengan topik “Transformasi Konflik dan Pengembangan Perdamaian.” Ia menjelaskan bahwa konflik adalah situasi di mana dua pihak atau lebih menginginkan hal yang sama pada waktu yang bersamaan, namun salah satu pihak menghalangi perolehan keinginan tersebut, sehingga tujuan salah satu pihak tidak tercapai. Ia juga membahas peran budaya dalam memaknai konflik.

Ika menjelaskan bahwa sumber-sumber konflik biasanya berasal dari isu-isu seperti sumber daya, informasi, hubungan (relasi), kepentingan atau kebutuhan, dan nilai-nilai.

Dalam sesi ini, para peserta dibagi menjadi kelompok untuk memecahkan konflik mengenai tanggapan seorang RT terhadap warga yang memelihara seekor anjing dan solusi yang harus dilakukan. Kemudian, Pak RT memberikan beberapa solusi, seperti mengurung anjingnya agar tidak melukai anak-anak, dan menyarankan agar anak-anak pindah bermain agar tidak membahayakan diri mereka. Tanggapan beberapa masyarakat terhadap Pak RT cukup baik karena ia dapat memberikan solusi terhadap suatu masalah. Dari contoh permasalahan ini, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian konflik memerlukan jawaban yang kompleks.

Sesi ini ditutup dengan diskusi yang mendalam mengenai pemecahan berbagai masalah dan konflik, di mana peserta diberikan kesempatan untuk saling berdiskusi. Diskusi ini tidak hanya memperkaya wawasan peserta dalam memberikan solusi terhadap suatu masalah, tetapi juga mendorong kebijaksanaan dalam berpikir. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa konflik akan sulit diselesaikan jika tidak dilakukan identifikasi terhadap isi konflik dan pemahaman yang baik mengenai konsep komunikasi yang terlibat.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *