STAHN Jawa Dwipa, 21 Mei 2025 — Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Penalaran STAHN Jawa Dwipa kembali menggelar forum ilmiah bertajuk DIMAHI (Dialektika Mahasiswa Hindu) #3 pada Rabu, 21 Mei 2025 di Ruang Rapat STAHN Jawa Dwipa. Mengangkat tema “Kitab Slokantara: Refleksi tentang Karakter dan Potret Pendidikan Masa Kini”, kegiatan ini menjadi ruang dialektika kritis bagi mahasiswa Hindu untuk membedah persoalan karakter dan pendidikan dalam konteks kekinian.

Acara diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars STAHN Jawa Dwipa dilanjutkan laporan dari Wakil Ketua UKM, Suci Rahayu kemudian acara berlanjut dengan sambutan dari pembina ukm.Dalam sambutannya, pembina UKM, Gede Agus Siswadi, S.Pd., M.Pd., M.Phil., menyampaikan pentingnya panggung-panggung diskusi semacam ini sebagai bentuk latihan berpikir kritis mahasiswa Hindu.
Wakil Ketua I, I Nyoman Warta, M.Hum., secara resmi membuka kegiatan. Dalam sambutannya, beliau menyatakan bahwa “Dimahi bukan hanya sekadar dialektika antar mahasiswa, tetapi merupakan perwujudan dialek kesemestaan yang bersumber dari kata dalam mantram Gayatri.” Beliau juga menekankan agar mahasiswa tidak takut belajar dan tidak takut salah, asalkan tidak sengaja berbuat salah.
Diskusi dipandu oleh Ika Savitri selaku moderator. Sebagai pemakalah utama, Yogisawa Kusuma Wardhana memaparkan refleksi mendalam dari Kitab Slokantara mengenai pendidikan karakter. Dua penyanggah, Nova dan Erita, turut memperkaya diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan tajam.
Nova mempertanyakan ketergantungan anak terhadap gawai dan budaya populer seperti TikTok yang kerap menggeser nilai-nilai Weda dalam kehidupan sehari-hari. Ia juga mengkritisi peran sekolah yang terlalu diandalkan sebagai satu-satunya institusi pembentuk karakter.
Sementara itu, Erita menyoroti tantangan integrasi nilai-nilai moral tradisional ke dalam sistem pendidikan karakter saat ini, terutama di tengah dominasi pendidikan berbasis teknologi dan kompetensi. Ia mengangkat pentingnya relevansi etika, bahkan dalam ruang-ruang profesional seperti kantor, dan perlunya guru tetap memiliki peran kuat dalam menanamkan nilai, meskipun sering disalahkan ketika muncul masalah sosial.
Sesi diskusi dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif dari peserta, seperti Dipa, Esha, dan Manda, yang menyinggung isu penting seperti pelecehan seksual, kondisi psikologis orang tua yang belum pulih, dan dampaknya terhadap pendidikan karakter anak.
Di tengah dominasi teknologi dan maraknya kasus penurunan karakter pada generasi zaman sekarang, relevansi ajaran Kitab Slokantara sebagai bagian dari Weda Smrti menjadi sebuah acuan, panduan hidup. Kitab yang memuat ajaran etika Hindu dinilai masih sangat relevan dalam membentuk karakter, meskipun tantangan yang dihadapi tidak mudah.
Dalam pembentukan Karakter ini adalah tanggung jawab bersama keluarga dan sekolah. Pembentukan karakter, khususnya etika dan moral, seharusnya dimulai sejak dini dalam lingkungan keluarga. Anak-anak perlu diajarkan nilai-nilai dasar seperti mengucapkan terima kasih saat menerima sesuatu atau menggunakan bahasa yang santun saat meminta tolong. Namun, banyak orang tua saat ini cenderung kurang memperhatikan aspek moralitas anak, lebih fokus pada kecerdasan kognitif semata.
“Pembentukan karakter itu tidak hanya di sekolahan, dari dalam keluarga juga harus diterapkan, bahkan dari masa kecil,” ujar Yogis dalam diskusi.
Hal ini bukan berarti peran sekolah diabaikan. Pendidikan di sekolah seharusnya tidak hanya “mencerdaskan” siswa, tetapi juga “mendidik” etika dan moral mereka. Pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana memastikan pendidikan karakter di sekolah tidak hanya menjadi teori, melainkan benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Realitanya, karakter yang dicerminkan siswa dan mahasiswa saat ini seringkali masih sangat minim.
Dengan maraknya kasus intoleransi, kekerasan di sekolah, bahkan pelecehan menunjukkan bahwa adanya kegagalan di sistem pendidikan saat ini dalam membentuk karakter siswanya. Ajaran-ajaran dalam Slokantara, seperti pentingnya pengendalian diri, kebajikan, dan keharmonisan, seolah terabaikan.
Penggunaan teknologi juga menjadi pisau bermata dua. Teknologi dapat menjadi alat positif untuk mencari pengetahuan baru atau membaca artikel yang bermanfaat. Namun, tanpa kontrol yang tepat, teknologi juga dapat menjerumuskan anak-anak pada konten-konten negatif. Peran orang tua dalam mengawasi dan mengarahkan penggunaan teknologi pada anak menjadi penting saat ini.
Penulis: Priska sarasvati & Namaste yoga Pramudita
Dokumentasi: Davit eko prasetyo