Jumat, 29 November 2024 bertempat di STAHN Jawa Dwipa telah berlangsung sebuah diskusi publik dengan mengusung polemik mengenai “masa depan ritual dalam Hindu” yang dipimpin oleh Putu Pradnya Lingga Dharmaysa, S.Fil., M.Phil selaku moderator dengan panelis pertama I Wayan Putu Sari, S,TP, M.P. dan Gede Agus Siswadi, S.Pd, M.Pd, M.Phil. Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Penalaran yang dihadiri oleh sejumlah dosen dan mahasiswa STAHN Jawa Dwipa. Kegiatan ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui ritual-ritual dalam Hindu dan bagaimana masa depan ritual.
–
Narasumber pertama yaitu I Wayan Putu Sari, S,TP., M.P menyampaikan tentang seperti apa ritual dalam Hindu dan makna dari sesaji yang digunakan dalam ritual. Beliau menjelaskan bahwa Hindu meyakini adanya tiga kerangka dasar (tri kerangka dasar) yaitu tattwa (filsafat) Susila (etika) dan upacara (ritual). Dalam hal ini beliau lebih berfokus pada Ritual untuk menjelaskan tema diskusi kali ini. Ritual merupakan cara melakukan hubungan antara atman dengan parama atman, antara manusia dengan Tuhan, sebagai penolong manusia untuk memudahkan dalam menghubungkan diri dengan Tuhan dalam bentuk nyata (upacara). Simbol dalam upakara adalah patram, puspam, palam, toyam, dupam. Kerangka dasar agama Hindu yang terakhir berupa upacara tidak lepas dari Yadnya, tri manggalaning Yadnya (komponen yang berperan penting dalam pelaksanaan Yadnya yaitu sangyajamana (pelaku Yadnya) sang sarati (pembuat sarana upakara) sang Manggala (yang menyelesaikan Yadnya). Wayan Putu Sari juga menjelaskan mengenai syarat menjadi srati, makna proses membuat sesaji, etika dalam membuat sesaji.
–
Selanjutnya, pemateri kedua, Gede Agus Siswadi, S.Pd, M.Pd, M.Phil, melanjutkan dengan menyampaikan materi mengenai reinterpretasi sistem ritual Hindu antara teks dan konteks. Beliau menekankan pentingnya untuk tidak memandang Hindu hanya sebagai agama yang berfokus pada ritual semata. Dalam pemaparannya, beliau menjelaskan lebih dalam mengenai sistem ritual Hindu itu sendiri dengan segala kompleksitas dan tantangannya.
–
Beliau menjelaskan mengenai titik perangkat agama Hindu yang sejalan dengan apa yang disampaikan oleh pembicara pertama, yaitu tattwa, susila, dan upacara. Tri kerangka dasar Hindu ini telah dikritik oleh beberapa tokoh agama Hindu, terutama mengenai mengapa srada (keyakinan) tidak dimasukkan ke dalamnya. Padahal, tattwa berkaitan dengan Tuhan, sedangkan srada berkaitan dengan keyakinan individu. Beliau juga menyampaikan bahwa ia tidak ingin agama Hindu dipandang hanya dari sisi ritualnya saja, karena agama ini memiliki banyak konsep dan filosofi yang mendalam.
–
Menurut eksplorasi sejarah, agama Hindu awalnya dikenal dengan nama Sanatana Dharma, dan diakui oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1959. Beliau menjelaskan pula mengenai berbagai aliran Hindu yang ada di Indonesia, yang masing-masing memiliki konsep dan penyebutan Tuhan yang berbeda-beda di setiap daerah di Nusantara, di mana ritusnya juga bervariasi.
–
Beliau juga membahas mengenai dasa avatara, yang merupakan inkarnasi dari Dewa Wisnu, termasuk Budha avatara (Siddharta Gautama). Sistem ritual yang besar telah dikritik oleh Siddharta Gautama, sebagai protes terhadap Hindu yang dianggap terlalu fokus pada ritual yang megah dan aktivitas keagamaan yang didominasi oleh kaum Brahmana. Polemik yang terjadi saat ini berkaitan dengan aktivitas ritual keagamaan yang telah menarik perhatian publik. Peter L. Berger menyatakan bahwa agama dan budaya adalah hasil dari konstruksi sosial yang terkait dengan simbol-simbol yang ada. Proses ini melibatkan eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
–
Diskusi semakin memanas ketika sesi tanya jawab dibuka. Beberapa pertanyaan disampaikan oleh mahasiswa dan dosen. Salah satunya datang dari Rate Latbual, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Hindu semester 5 asal Maluku bertanya, “Setelah saya selesai kuliah di kampus ini, apakah pelajaran dan materi tentang ritual agama yang ada di Jawa harus diterapkan di kampung halaman saya, di mana Hindu di sana (maluku) berbeda dengan Hindu di sini (jawa) ?”
–
Pertanyaan ini dijawab oleh Wayan Putu Sari, yang menjelaskan bahwa, “Tidak perlu. Ambil ajaran di sini sebagai referensi, dan di Maluku terdapat tradisi seperti yang Pak Gede jelaskan. Gunakanlah ritual yang ada di Maluku. Jadilah generasi yang sangat peduli terhadap apa yang sudah ada di Maluku. Angkatlah hal-hal yang menjadi kebanggaan di Maluku, pelajari makna-makna yang kurang dimengerti, dan banggalah dengan budaya Maluku. Hindu itu seperti air yang mengalir ke ladang; ia tidak merubah wadah, tetapi akan menyesuaikan dengan wadah tersebut. Termasuk di Maluku, air itu akan membentuk sesuai dengan wadahnya.”
–
Kemudian, penjelasan dilanjutkan oleh Gede Agus Siswadi dengan mengatakan, “Memang benar, tidak perlu. Dengan melihat teori Ernst Cassirer, yang memahami simbol dan memaknai simbol adalah mereka yang menciptakan simbol tersebut. Teman-teman dari Maluku mungkin tidak bisa memahami ritual di Jawa atau Bali. Ketika mencoba membawa sesaji Jawa, pasti akan muncul pertanyaan dalam konteks budaya Jawa yang bahkan sulit dipahami. Tidak mungkin dan akan sulit bagi Rate untuk membawa satu sistem ritual Jawa, karena dari maknanya saja sudah sulit.” oleh karena itu diperlukan interpretasi ulang terhadap pengetahuan universal dalam sebuah ritual yang mampu dipahami oleh semua masyarakat Hindu.
–
Penulis: Annida Rizky Novi Fitriani, Namaste Yoga Pramudita, Priska Sarasvati
Gambar: Yuda Saputra
Penyunting: Reffy Frizta Dianti